Selasa, 06 September 2011

Hukum menjawab bacaan adzan

Menjawabi azan atau biasa disebut hikayat al-azan, sangat dianjurkan oleh agama. Rasulullah Saw. dalam suatu hadis sahih muttafaq 'alaih dari Shahabat Abu Sa'id al-Hudriy r.a. bersabda:

"Apabila kalian mendengar panggilan shalat, maka tirukanlah apa yang dikatakan muadzdzin".

Hadis serupa juga diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari Shahabat Mu'awiyah r.a.

Juga Imam Muslim meriwayatkan hadis tentang fadhilahnya menirukan suara azan ini dari Shahabat Umar. Di sana dijelaskan pula caranya: menirukan kata perkata, kecuali ketika muadzdzin mengucapkan: Hayya 'alashshalaah dan Hayya 'alalfalaah, di sini kita tidak menirukan, tapi menyambutnya dengan mengucapkan : La hawla walaa quwwata illaa billahi l-'Aliyyi l-Azhiim.

Di akhir hadis ini disebutkan:

"Apabila orang yang mendengar azan mengucapkan seperti itu sepenuh hatinya, maka ia masuk surga."

Melihat mudah dan besarnya pahala, sebagai orang Islam kok memang eman jika kita melewatkannya begitu saja. (Perlu diketahui juga, bahwa kesunnahan hikayat al-azan ini tidak saja untuk kaum lelaki saja dan tidak diisyaratkan harus suci segala).

Tapi ya itu. Seperti yang Anda kemukakan itu: bagaimana jika kita mendengar "sekian banyak azan" sekaligus atau berurutan? (Ini termasuk masalah bawaan teknologi modern, ya?!)

Hikayat al-azan atau menjawabi azan adalah termasuk zikir. Jadi logika gampangannya, makin banyak makin baik. Tapi orang kan tidak sama. Juga kebiasaan dan kondisinya. Ada orang yang mempunyai kebiasaan: begitu mendengar azan cepat-cepat mengambil air wudlu dan atau menunggu shalat jamaah dengan melakukan shalat sunnah atau membaca Al-Quran. Ada orang yang kegiatan sehari-harinya sudah direncanakan dalam jadwal yang rapi. Ada orang yang waktunya sangat terbatas, dan seterusnya. Maka pertanyaan seperti yang Anda ajukan itu memang harus dijawab.

Untuk menjawabnya, ada baiknya jika terlebih dahulu saya kemukakan beberapa pendapat imam/ulama mengenai azan itu sendiri.

Imam Ahmad Ibn Hanbal mengatakan bahwa azan merupakan fardu kifayah untuk shalat 5 waktu saja, bagi jamaah di kota, di desa atau lainnya. Menurut Imam as-Syafi'i dan Abu Hanifah, azan sunnah untuk jamaah maupun yang akan bersembahyang sendirian di dalam perjalanan atau tidak. Sedang menurut imam Malik, sunnah kifayah untuk di tiap mesjid dan tempat yang biasa seperti tempat berkumpul banyak orang; dan fardu kifayah untuk di kota besar.

Semua ulama, mengaitkan azan itu dengan shalat 5 waktu, karena, seperti tersirat dari namanya, azan memang terlebih dahulu merupakan pemberitahuan atau panggilan shalat. Di samping itu, juga ada kaitannya dengan siapa yang "dipanggil" shalat (pribadi, jamaah di desa, di kota, di perjalanan, dan seterusnya).